KABARBORNEO.ID, SAMARINDA – Polemik pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hassanuddin Masud terus bergulir.
Polemik ini mendapat beragam reaksi dari berbagai pihak. Terbaru informasi yang beredar DPRD Kaltim telah menggelar rapat paripurna yang isinya menyepakati untuk menyusulkan pergantian Makmur HAPK.
Mayoritas kalangan menganggap paripurna paripurna DPRD Kaltim yang dilakukan beberapa hari lalu adalah hal yang salah, karena telah memutuskan sesuatu, sementara proses hukum maih belum final dan masih berjalan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Salah satunya datang dari Aliansi Pimpinan Ormas Daerah (Aorda).
Ketua Umum Aorda, Mohammad Djailani sampaikan bahwa rapat paripurna yang digelar DPRD Kaltim pada Selasa 2 November 2021 itu adalah cacat hukum.
Ia sebut hal yang cacat hukum adalah perihal rapat paripurna yang memutuskan pergantian Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.
“Kenapa? Karena pada saat ini masih dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri Samarinda. Nomor gugatannya pun sudah ada,” ujarnya yang juga merupakan salah satu tokoh masyarakat di Kaltim itu.
“Gugatan itu pun belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap, tetapi dewan sudah memutuskan untuk pergantian,” katanya.
Atas dasar hal itu, Aorda disampaikan Djailani meminta agar pimpinan daerah dalam hal ini adalah Gubernur Kaltim, bijak mengambil keputusan.
Ini karena usulan pergantian Ketua DPRD Kaltim itu nantinya juga akan diserahkan kepada Gubernur Kaltim untuk selanjutnya diteruskan ke Mendagri.
“Kami meminta kepada Gubernur Kaltim dan juga Menteri Dalam Negeri untuk tak proses dan menindaklanjuti pengusulan pergantian Ketua DPRD Kaltim ini, sampai ada putusan hukum berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Djailani juga sampaikan bahwa hingga saat ini, Makmur HAPk merupakan Ketua DPRD Kaltim yang sah. Dengan itu pula melekat seluruh kewajiban dan hak-hak kepada Makmur HAPK.
Ia sampaikan, hal ini perlu dilakukan agar memberikan pelajaran politik dan hukum yang baik kepada masyarakat.
“Agar, sebuah lembaga bisa melakukan proses sesuai dengan aturan yang ada. DPRD sebaiknya memberikan contoh yang baik bagaimana memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum,” ujarnya.
Sebelumnya, pandangan dari kalangan akademisi diberikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah atas proses pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.
Castro, biasa ia disapa anggap bahwa keputusan paripurna untuk melanjutkan proses pergantian ketua DPRD itu, pertanda politik lebih dominan dibanding hukum.
“Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum?,” ujar Castro, Rabu (3/11/2021).
“Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik. Logikanya begini, sifat putusan mahkamah partai itu kan tidak final dan mengikat, jadi tidak bisa diproses sebelum berkekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan. Satu-satunya putusan partai yang final dan mengikat adalah soal kepengurusan sebagaimana disebut di Pasal 32 ayat (5) UU 2/2011. Jadi selama masih ada upaya hukum yang dilalukan oleh pihak yang keberatan dengan putusan mahkamah partai, maka putusan itu belum bisa dieksekusi,” jelasnya lagi.
Dijelaskan Castro, contoh kongkritnya kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS di DPR-RI, atau kasus Viani Limardi yang dipecat PSI di DPRD DKI.
Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear.
“Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan. Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah iman-nya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya,” kata Castro.(Redaksi Kabarborneo.id)