Peristiwa

Respon Kasus Kematian Mahasiswa Brawijaya, Kohati Badko HMI Kaltim-Tara Minta Pihak Kepolisian Lakukan Penyelidikan Menyeluruh

KABARBORNEO.ID, SAMARINDA – Kasus kematian Novia Widyasari Rahayu (NWR), mahasiswi Brawijaya Malang, mendapat respon dari berbagai pihak usai viral dimedia social.

Kematian Novia menjadi perhatian publik setelah diduga melibatkan kekasihnyayang merupakan oknum anggota kepolisian, Bripda Randy Bagus Hari Sasongko.

Sebelum meninggal Novia diduga menenggak racun di makam sang ayah di Desa Japan, Kecamatan Sooko, Mojokerto.

Diketahui mahasiswa Brawijaya sedang dalam keadaan hamil sebelum melakukan bunuh diri di samping makam ayahnya.

Novia Widyasari diduga kuat bunuh diri akibat mengalami depresi setelah diperkosa dan dipaksa melakukan aborsi oleh kekasihnya.

Merespon kasus yang di alami Novia, Formatur Korps HMIwati (Kohati) Badko HMI Katim-Tara, Siti Halimah mengatakan setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM.

Kekerasan dalam hubungan menurutnya adalah suatu tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak dan akan berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu.

“Dalam kasus ini bukan hanya sekedar soal  institusi, tapi berkaitan dengan menghilangnya nyawa seseorang, kejadian ini tidak ada moral dan manusiawi. Secara psikis ini yang menjadikan perilaku kompulsif timbul terhadap korban untuk melakukan bunuh diri,” jelas Siti Halimah

Meskipun telah ada tindakan  tegas baik sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) untuk di PDTH (pemecatan tidak dengan hormat) telah dilakukan kepada Bripda Randy Bagus Hari Sasongko, Siti mendesak Kapolres Mojokerto untuk menyelidiki kasus yang di alami Novia secara menyeluruh.

BACA JUGA :  Bankeu untuk Desa, Pemprov Kaltim Optimis Tuntaskan Masalah Desa Tertinggal

“Jika kematian  disebabkan oleh bunuh diri ataupun akibat perbuatan pelaku, maka sesungguhnya penyidik bisa mengualifikasi perbuatan itu sebagai pemaksaan. Maka dari itu kami mendorong aparat kepolisian meminta keterangan pelaku terkait obat tidur dan akibat-akibat lain yang mengindikasikan kekerasan, kalau benar ini memenuhi unsur pemerkosaan”, tegas Siti

Ia juga menjelaskan dalam kasus tersebut yang keliru dari mayoritas society itu adalah pihak perempuan selalu dihakimi soal attitude pembatasan dalam interaksi sosial contoh dalam soal berpakaian, padahal menurutnya esensinya bukan itu. Kalau dibalik segi berfikir pernahkah kita mengedukasi laki-laki sejak kecil untuk tidak memperkosa.

“Kalau laki-laki nakal biasa , kalau laki- laki mabuk biasa, dan kalau memperkosa tidak apa? Ini yang harus diubah stigma dalam bermasyarakat agar tidak bias gender kalau bicara konteks keadilan karena dimata hukum kita semua sama”, jelas Siti.

Terakhir, dirinya juga berharap agar seluruh elemen masyarakat dan aktivis hingga organisasi perempuan yang lain bisa mengawal kasus ini hingga mendapatkan keadilan untuk keluarga korban khusunya menjadikan bukti bahwa hukum di Indonesia masih ada. (Redaksi Kabarborneo.id)

Related Articles

Back to top button