Peristiwa

Samarinda Bertransformasi dari Kota Wisata Banjir Menjadi “Waterfront City”

KABARBORNEO.ID. SAMARINDA – Samarinda Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur ini sudah dikenal dengan sebutan  “Kota Wisata Banjir” .Terbukti, banjir saat ini sudah menjadi sahabat bagi Kota Samarinda. Tidak perlu menunggu musim hujan, dengan curah hujan sedang beberapa jam saja sudah bisa menyebabkan munculnya sungai-sungai kecil di jalan raya Kota Samarinda.

“Kota Wisata Banjir”

Menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Timur dengan letak geografisnya yang strategis serta fasilitasnya yang lengkap menjadi daya tarik tersendiri bagi Kota Samarinda. Hal tersebut menyebabkan jumlah penduduk Kota Samarinda berada pada posisi pertama terpadat penduduknya di Kalimantan Timur, yaitu berkisar 872,77 ribu, bahkan bisa meningkat menjadi 1 juta jiwa pada weekend.

Tingginya angka urbanisasi dan transmigrasi serta pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menyebabkan banyaknya masalah sosial yang muncul, salah satunya yaitu meningkatnya permukiman kumuh. Kawasan permukiman kumuh yang ada di Kota Samarinda pada umumnya disebabkan karena peningkatan aktivitas perdagangan dan jasa yang berada di sekitar bantaran sungai.

Tata bangunan yang tidak beraturan, berhimpitan, serta terabaikannya standar kesehatan dasar yang berimplikasi terhadap pendangkalan sungai yang mengakibatkan tidak berfungsinya sungai sebagai drainase induk. Kondisi ini jelas menjadi masalah serius bagi Kota Samarinda yang letak geografisnya sama rendah dengan permukaan Sungai Mahakam.

Samarinda Sanghai Masa Depan

Design penataan permukiman kumuh anak Sungai Mahakam (Foto: Bappeda Samarinda)

Samarinda dengan Sungai Mahakamnya bisa menjadi Sanghai di masa depan. Pernyataan provokatif ini disampaikan oleh akademisi dan pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago di pengujung tahun, pada saat ekspos hasil Kajian Penguatan Daerah Penyangga Dalam Mendukung Ibu Kota Negara yang diselenggarakan oleh Pusat Pelatihan dan Pengembangan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Puslatbang KDOD).

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa Kota Samarinda disandingkan dengan Shanghai, kenapa bukan Singapura, Kuala Lumpur, atau kota lainnya. Ternyata ada kesamaan antara Samarinda dan Shanghai, yaitu dari jenis penduduk dan sungai. Kota Shanghai dan Kota Samarinda memiliki penduduk yang heterogen. Sebagian besar penduduk Kota Shanghai adalah pendatang yang berasal dari provinsi sekitarnya. Begitu pula dengan Samarinda, yang jumlah penduduknya kebanyakan dipengaruhi pendatang dari luar Samarinda maupun luar Kalimantan.

Selanjutnya, Kota Shanghai memiliki sungai besar yang bernama Huangpu. Sungai ini sama dengan Sungai Mahakam yang merupakan sungai besar dan membelah kota Samarinda. Sungai Huangpu membelah Kota Shanghai menjadi dua bagian yaitu sisi timur (Pudong) dan sisi barat (Puxi). Jika dilihat kondisi Sungai Huangpu yang indah saat ini, maka tidak pernah terbayangkan bahwa jauh beberapa puluh tahun ke belakang sungai tersebut merupakan sungai yang kotor dan menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga maupun industri. Karena buruknya pengelolaan, banjir juga menjadi langganan bagi daerah di sekitar Sungai Huangpu, sama seperti Kota Samarinda saat ini.

Berkat keinginan kuat dari pemerintah serta keterlibatan masyarakat Shanghai, maka normalisasi serta penataan Sungai Huangpu yang saat itu membutuhkan dana sekitar Rp 10 triliun per tahun berhasil mengubah Sungai Huangpu yang semula kotor dan berwarna hitam menjadi bersih tanpa sedikit pun sampah. Pinggiran sungai juga ditata apik dengan dibangun pedestrian dan taman asri. Normalisasi dan penataan tersebut tentunya membawa banyak keuntungan.

Bukan hanya sebagai drainase induk pengendali banjir serta sumber kebutuhan air sehari-hari bagi masyarakat Shanghai, Sungai Huangpu juga menjadi ikon wisata Kota Shanghai. Saat ini, di atas sungai Huangpu banyak lalu lalang kapal pesiar yang membawa wisatawan menyusuri sungai selebar 400 meter tersebut untuk menikmati keindahan bangunan serta landmark kota Shanghai yang berada di sekitar Sungai Huangpu.

Menjadi Waterfront City

Cita-cita untuk menata tepian Sungai Mahakam serta anak sungainya sebenarnya bukan hal baru dalam perencanaan pemerintah Kota Samarinda. Pada awal kepemimpinannya sebagai Wali Kota Samarinda selama 2 periode (2010 – 2020), Sjahrie Jaang telah mencetuskan ide untuk mengembangkan daerah Sungai Mahakam. Namun memang hal tersebut baru berhasil dimasukkan dalam RPJMD Kota Samarinda 2016-2021, dan menjadi salah satu prioritas pengembangan Kota Samarinda dengan mengusung konsep Waterfront City Development.

BACA JUGA :  Akibat longsor, 3 Penambang Emas Ilegal Tewas tertimbun di Parigi Moutong Sulteng

Saat ini konsep waterfront city telah disisipkan dalam masterplan Samarinda Smart City 2017-2025, karena menjadi bagian dari kerangka pikir smart city, yaitu menjadikan air sebagai brand kota Samarinda. Geliat kuat pembangunan menuju waterfront city saat ini pun mulai terlihat.

Pada akhir 2020 Pemerintah Kota Samarinda melalui program KOTAKU yang merupakan program nasional, sudah mulai melakukan pengurangan pemukiman kumuh yang berada ditepian anak sungai Mahakam seperti di bantaran Sungai Karang Mumus. Kawasan kumuh di lingkungan ini merupakan kawasan kumuh yang cukup luas yaitu 21% dari 133,33 ha total luas kawasan kumuh di Samarinda. Kawasan ini juga merupakan kawasan strategis Kota Samarinda yang berfungsi sebagai kawasan perdagangan dan jasa serta pusat pelayanan lingkungan.

Berdasarkan data penelitian Mustianto (2014) program relokasi penduduk bantaran Sungai Karang Mumus setidaknya sudah berjalan selama dua dekade, terhitung sejak 1998, setelah terjadinya banjir besar di Samarinda. Tak ayal pengurangan permukiman kumuh di kawasan ini menjadi catatan penting bagi penataan kawasan kumuh di Kota Samarinda.

Tentu saja, pengurangan permukiman kumuh ini menjadi asa baru pijakan awal Kota Samarinda untuk bertransformasi dari kota wisata banjir menjadi waterfront city. Namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana kedepan Pemerintah Kota Samarinda dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mewujudkan hal tersebut.

Pembangunan waterfront city menurut Huang dan Kao (2014) merupakan pekerjaan yang tidak mungkin untuk dikerjakan sendiri oleh pemerintah, karena pelaksanaannya sangat komplek dan susah. Apalagi menurut Zulfakar, Suripin, dan Buchori (2013) manusia menjadi salah satu faktor terbesar penyebab terjadinya banjir, sehingga perlu pelibatan manusia sebagai upaya perwujudan waterfront city. Pelibatan masyarakat dalam mengubah air dari masalah menjadi berkah bisa kita pelajari dari Shanghai.

Kita dapat bercermin dari Shanghai, bagaimana sungai yang awalnya menjadi sumber banjir berubah menjadi sumber penghasilan bagi mereka. Li dan Zhong (2020) menyebutkan ada beberapa upaya pelibatan masyarakat dalam waterfront city development di Shanghai.

Pertama, mereka membuat sosialisasi serta diseminasi yang luas kepada masyarakat dan swasta terkait waterfront city development. Salah satu upaya sosialisasi adalah melalui propaganda slogan yang dibuat dalam banyak bentuk seperti dicetak pada tas dan brosur, diukir digedung pemerintah dan sarana publik, serta menjadi yel-yel pada parade militer dan sebagainya.

Kedua, pemerintah membuat survei kepada masyarakat, sebagai upaya membuka ruang partisipasi publik untuk menyuarakan bagaimana keinginan mereka terkait pembangunan waterfront city. Ketiga, pemerintah juga melakukan kompetensi desain pembangunan waterfront city.

Keempat, hasil survei serta kompetensi desain yang telah dilakukan menjadi input bagi pemerintah dalam melakukan penataan daerah tepi Sungai Huangpu. Sebagian besar kawasan tepi sungai difungsikan sebagai ruang publik bagi masyarakat untuk menghabiskan waktu luang mereka, antara lain sebagai area bermain skateboard bagi remaja, taman untuk keluarga, serta tempat pentas seni.

Kelima dan yang tidak kalah penting adalah upaya keras pemerintah Shanghai dalam mengubah budaya masyarakat untuk menjaga kebersihan Sungai Huangpu. Furedy (1991) menyebutkan bahwa pemerintah Shanghai melakukan kampanye khusus yang dirancang untuk memaksa masyarakat terlibat dalam penanganan sampah yang dibungkus dalam beberapa hal seperti kurikulum pendidikan dasar baik melalui teori dan praktik, pembentukan komite jalanan yang memberikan kesadaran publik tentang sampah, serta upaya penguatan dan pengawasan daur ulang yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan.

Semoga disandingkannya Samarinda dengan Shanghai dapat menjadi pelecut bagi pemerintah dan masyarakat Samarinda untuk bersama-sama bangkit dan bergandengan tangan bertransformasi dari kota wisata banjir menjadi waterfront city.

Artikel ini telah tayang di Detiknews.com dengan judul “Sanghai, Masa Depan”

Related Articles

Back to top button